Sejarah Peringatan Maulid Nabi SAW
The Sultan
Salahuddin Abdul Aziz Mosque in Shah Alam (Photo credit: Fizal’s Photography)
Menurut
sejarah ada dua pendapat yang menengarai awal munculnya tradisi Maulid.
Pertama,
tradisi Maulid pertama kali diadakan oleh khalifah Mu’iz li Dinillah, salah
seorang khalifah dinasti Fathimiyyah di Mesir yang hidup pada tahun 341
Hijriyah.
Kemudian, perayaan Maulid dilarang oleh Al-Afdhal bin Amir al-Juyusy dan
kembali marak pada masa Amir li Ahkamillah tahun 524 H. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Al-Sakhawi
(w. 902 H), walau dia tidak mencantumkan dengan jelas tentang siapa yang
memprakarsai peringatan Maulid saat itu.
Kedua,
Maulid diadakan oleh khalifah Mudhaffar Abu Said pada tahun 630 H yang
mengadakan acara Maulid besar-besaran.
Saat itu, Mudhaffar sedang berpikir tentang cara bagaimana negerinya bisa
selamat dari kekejaman Temujin yang dikenal dengan nama Jengiz Khan (1167-1227
M.) dari Mongol.
Jengiz Khan, seorang raja Mongol yang naik tahta ketika berusia 13 tahun dan
mampu mengadakan konfederasi tokoh-tokoh agama, berambisi menguasai dunia.
Untuk menghadapi ancaman Jengiz Khan itu Mudhaffar mengadakan acara Maulid.
Tidak
tanggung-tanggung, dia mengadakan acara Maulid selama 7 hari 7 malam.
Dalam acara Maulid itu ada 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju
dan 30.000 piring makanan.
Acara ini menghabiskan 300.000 dinar uang emas. Kemudian, dalam acara itu
Mudhaffar mengundang para orator untuk menghidupkan nadi heroisme Muslimin.
Hasilnya,
semangat heroisme Muslimin saat itu dapat dikobarkan dan siap menjadi benteng
kokoh Islam.
Sejatinya, dua pendapat di atas sama-sama benar.
Alasannya, karena peringatan Maulid tidak pernah ada sebelum abad ketiga dan
diadakan pertama kali oleh Mu’iz li Dinillah, dan ini hanya bertempat di Kairo
dan masih belum tercium ke lain daerah.
Sedangkan
Mudhaffar adalah orang pertama yang memperingati Maulid di Irbil, yang dari
Mudhaffar inilah peringatan Maulid mendunia.
MAULID DAN
JIHAD
Pada masa Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari
berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan
Perang Salib atau The Crusade. Perang salib I digelorakan oleh Paus Urban II.
Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa
menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan
persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak
kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di
Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Menurut
Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara
mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di
seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw., 12 Rabiul Awal, yang setiap
tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal.
Sebenarnya
hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya,
Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah
Utara.
Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di
istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya
bersifat lokal dan tidak setiap tahun.
Adapun Salahuddin
ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh
dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang
tahun biasa.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman
Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada.
Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idulfitri
dan Iduladha.
Akan tetapi
Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang
menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak
dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad,
ternyata khalifah setuju.
Maka pada
ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin
al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan
Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali
ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di
mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12
Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang
membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu
kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang
pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara
penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah
mungkin.
Seluruh
ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang
menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal
sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di
kampung-kampung pada peringatan maulid nabi.
Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu
membuahkan hasil yang positif.
Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali.
Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah)
Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa
menjadi masjid kembali sampai hari ini.
MAULID
SEBAGAI SEBUAH BID’AH
Hal baru yang tidak ada di masa para pendahulu (salaf salih) tidak bisa diklaim
sebagai bid’ah sesat secara keseluruhan.
Bila
sedemikian, maka banyak sekali tradisi-tradisi —yang memiliki tendensi hukum
syara sebab dicakup oleh kaidah universal— diklaim sebagai bid’ah sesat.
Tentang
bid’ah, Imam Syafi’i, Izzuddin bin Abdissalam, Imam Nawawi dan banyak imam lain
mengatakan bahwa bid’ah diklasifikasi menjadi lima.
Ada wajibah,
mandubah, makruhah, mubahah dan muharrmah. Termasuk tradisi peringatan Maulid.
Ulama sepakat bahwa tradisi Maulid bukan sunnah.
Bahkan, bila ada yang meyakini bahwa tradisi Maulid harus diadakan pada
hari-hari tertentu maka dia telah berbuat bid’ah (ibtida’) yang keji dalam
agama.
Demikian ini telah ditegaskan Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki.
Menurutnya,
tradisi Maulid adalah bid’ah yang hasanah (mandubah). Dia mengatakan, tradisi
Maulid dinilai bid’ah dilihat dari sisi berkumpul bersama-sama dan dinilai
hasanah karena memiliki tendensi-tendensi hukum syara dalam entri-entri
kegiatan di dalamnya.
Di dalam
peringatan Maulid terdapat dzikir, shalawat, memuliakan Nabi dan sedekah, yang
kesemuanya dianjurkan oleh syara.
Pendapat lain juga dijelaskan oleh Abu Bakar Sayyid Bakri ibn Sayid Muhammad
Syatha al-Dimyathi.
Dia mengutip banyak pendapat yang sepakat atas hukum bid’ah hasanahnya
memperingati Maulid, diantaranya, pendapat Imam Suyuthi, Imam as-Subki, Ahmad
bin Zaini Dahlan dan Imam Abu Syamah.Abu Syamah mengatakan memperingati Maulid
adalah paling baiknya bid’ah.
Perayaan
Maulid itu, di samping juga sebagai momen bersedekah, sebagai bukti akan
kebahagiaan dan kecintaan Muslimin kepada Nabi Muhammad saw.
Untuk hal ini, ada baiknya dikutip pendapat Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah
mengatakan Muslimin yang memperingati Maulid atas niat yang tulus dan atas
dasar cinta kepada Nabi Muhammad saw, maka akan mendapat pahala, bukan atas
bid’ahnya.
Oleh karena
itu, pada saat yang sama Ibnu Taimiyah memberikan solusi agar bid’ah yang
terjadi dalam peringatan Maulid diganti dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai
dengan syara.
Jadinya, peringatan Maulid akan mendapatkan pahala penuh.
MAULID
SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Di era ini Muslimin berada dalam hegemoni Barat dan cenderung menjadi
bulan-bulanan.
Tidak jarang Muslimin saat ini menangkap informasi tidak berimbang dan selalu
menguntungkan Barat.
Padahal,
sudah menjadi rahasia umum bahwa sejarah Barat adalah sejarah kebohongan yang
ditampilkan dalam frame yang begitu sistematis.
Pada keterjebakan posisi ini Muslimin mendambakan kembalinya kejayaan Islam
pada abad-abad terdahulu dan Muslimin tahu bahwa kekalahan Muslimin berada pada
titik kurangnya konsolidasi antar-negara Islam dunia.
Pertanyaan,
di mana kiprah OKI (Organisasi Konfrensi Islam) selaku organisasi persatuan
Islam dunia, sering muncul namun tidak pernah mendapat jawaban riil.
Artinya, momen-momen show of force (unjuk kekuatan), seperti peringatan Maulid
dan perayaan besar lainnya, sudah sepantasnya tidak dibiarkan berlalu begitu
saja.
Momen-momen besar Islam seperti itu sangat berpotensi dan efektif untuk
menghidupkan nadi heroisme Muslimin, bukan hanya pada taraf nasional tapi
internasional.
Bahkan,
kesempatan ini dinilai sebagai target utama diperingatinya hari kelahiran Nabi
Muhammad ini.
Bila kembali pada sejarah, di atas sudah dijelaskan bahwa peringatan Maulid
awal mulanya diadakan sebagai langkah untuk menyalakan api semangat dalam tubuh
Muslimin ketika berhadapan dengan ancaman asing.
Padahal, untuk masa ini Muslimin lebih berkepentingan untuk menyalakan kembali
semangat Islam.
Karena
kondisi masa yang sedemikian ruwet, dan ditambah dengan keterjebakan Muslimin
di bawah hegemoni asing, sudah saatnya peringatan Maulid tidak dilihat dari
sisi bid’ah hasanah-nya, sebab sisi ini telah disepakati memiliki ekses yang
positif bagi Muslimin.
Tapi
dipandang dari sisi sebagai momen konfederasi-konsolidasi Muslimin tingkat
internasional demi ‘izzul Islam wal muslimin.
Saya
sertakan juga Sejarah Lain Tentang Shalahuddun Al-Ayyubi Dan Maulid Nabi
Besar Sayyidina Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, agar
menambah ilmu dan kebijaksanaan kita.
Hikmah
Maulid Nabi Muhammad
Oleh:
Auki Akbar, Ali Yahya, Anom Yusuf, Rizki Tian Bahari dan Rahmatan Zuhri PS
SMPN-I Kota Bengkulu
Pendahuluan
Maulid Nabi Muhammad, saw adalah sebuah upacara atau peringatan untuk mengenang
lahirnya Nabi Muhammad, saw. Nabi Muhammad merupakan penyebar agama islam.
Dalam hidupnya, dia memiliki perilaku yang baik, sehingga disebut sebagai
uswatun hasanah (contoh teladan yang baik).
Ide maulid nabi terjadi pada saat Salahudin (berasal dari suku Ayyub)
mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji. Ia menghimbau agar jemaah
haji setelah kembali ke kampungnya masing-masing mensosialisasikan perayaaan
Maulid Nabi. Salahuddin menyatakan bahwa mulai tahun 580 H (1184 M), setiap 12
Rabiul-awal, dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dan diisi dengan berbagai
kegiatan yang membangkitkan semangat juang umat Islam. Salahuddin ditentang
oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak ada. Lagi
pula hari raya resmi menurut ajaran agama hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan
Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid
Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang
bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Dampak Maulid Nabi Muhammad SAW
Salahuddin Al Ayyubi dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin
berasal dari dinasti Ayyub (setingkat gubernur). Ia memerintah dari tahun
1174-1193 M atau 570-790 H. Ia bukanlah orang Arab melainkan dari suku Kurdi.
Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir. Daerah kekuasaannya
membentang dari Mesir sampai Suirah dan Semenanjung Arabia. Pada masa itu,
dunia Islam sedang mendapatkan serangan gelombang demi gelombang dari berbagai
bangsa Eropa (Perancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang
Salib atau the Crusade. Pada tahun 1099 laskar eropa merebut Yerusalem. Umat
Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) (sama seperti sekarang),
dan persaudaraan (ukhuwah) (sama sepaerti sekarang), sebab secara politis
terpecah belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap
satu, yaitu Bani Abbas di bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Guna menghidupkan jihad umat Islam untuk merebut kembali Yerusalem, Salahuddin
meminta persetujuan dari Khalifah di Bagdad yakni An-Nashir agar umat Islam di
seluruh dunia merayakan hari lahir Nabi Muhammad saw. Menurut salahuddin
semangat juang umat islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal
kecintaan umat kepada nabi mereka. Ternyata ide yang dilontarkan salahuddin ini
disambut baik oleh khalifah. Maka, pada musim ibadah haji bulan dzulhijjah 579
H (1183 M), salahuddin sebagai penguasa baramain (dua tanah suci, Mekah dan
madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jamaah haji. Ia menghimbau agar
jemaah haji setelah kembali ke kampungnya masing-masing mensosialisasikan
perayaan Maulid Nabi. Salahuddin menyatakan bahwa mulai tahun 580 H (1184 M),
setiap tanggal 12 Rabiul-Awal, dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dan diisi
dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat juang umat Islam.
Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti
itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama hanya ada
dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan
bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama,
bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid’ah
yang terlarang.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan salahuddin itu
menimbulkan efek yang luar biasa. Semangat umat Islam untuk berjihad bergelora
kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583
H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa. Dibawah
kepemimpinannya, perang salib diakhiri dengan sedikit korban. Tak seperti
tentara salib yang menduduki Jerusalem dan membunuh semua muslin yang tersisa,
pasukan Salahuddin mengawal umat Kristen dan memastikan jiwa mereka selamat
saat keluar Jerusalem. Begitulah akhlak Islam dalam perang yang dicontohkan
oleh Rasulullah saw.
Maulid Kotekstual
Berangkat dari latar belakang histories maulid tersebut, jelas bahwa maulid itu
sangat bergantung kepada konteks. Jika dahulu Salahuddin berhadapan dengan
tentara salib, bagaimana dengan kondisi umat Islam sekarang? Untuk itu
diperlukan kejelian dalam melihat permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
saat ini. Diantara persoalan besar yang dihadapi adalah kemelaratan, kemiskinan
dan kebodohan serta perpecahan di tubuh umat Islam yang terkadang berakhir
dengan konflik berdarah. Keempat persoalan tersebut adalah masalah klasik yang
belum terpecahkan sampai detik ini. Adapun amsalah kontemporer yang dihadapi
oleh umat adalah terorisme, kekerasan atas nama agama, tatanan dunia yang tidak
adil, korupsi, narkoba, judi, pornografi, nepotisme, dan hal-hal lain yang
berbau takhayul. Isu-isu ini semstinya diangkat oleh mubaligh, ustaz, da’I ke
permukaan dan dibicarakan dalam peringatan Maulid Nabi. Syukur-syukur kita
mampu menemukan jalan keluarnya. Adalah lebih baik, jika dari sebuah peringatan
maulid kita dapat melahirkan sebuah aksi nyata atau program yang kongkrit yang
bisa langsung dirasakan masyarakat seperti pemberdayaan di bidang pendidikan
dan ekonomi. Pemberdayaan di dua bidang ini mempunyai peran sentral dalam
menangkis umat dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Kebodohan dan
kemiskinan umat Islam ini mesti secepatnya dihilangkan karena dua hal ini
merupakan satu faktir utama yang menjerambabkan umat Islam dalam aksi kekerasan
atau terorisme, perbuatan meluluhlantakan citra Islam sebagai agama damai di
tengah percaturan politik global. Jika maulid tidak lagi kontekstual, tidak
mempunyai daya pecut menggugah semangat juang kita untuk melakukan langkah
kongkret bagi kemjuan dan kemakmuran, hanya sebatas emosional saja, sangat
dikhawatirkan umat islam akan terlempar pada romantisme sejarah. Perlahan namun
pasti kita pun mengkultuskan Nabi Muhammad saw sebagai orang suci yang memiliki
keistimewaan ketuhanan. Padahal, Al Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw
itu adalah manusia biasa (QS Al-Kahfi 18:110). Penegasan Al Qur’an ini
menunjukkan bahwa Nabi Muhammad itu adalah manusia biasa seperti manusia
lainnya. Hanya saja bedanya Nabi Muhammad saw itu mendapat wahyu dari Allah
sebagai utusan Allah kepada umat manusia. Rasulullah berhasil melepaskan diri
dari jerat hawa nafsu dan tampil sebagai insane al-kamil, manusia yang
senantiasa hidup dalam tuntunan nilai-nilai Ilahi.
Kesimpulan
Maulid nabi Muhammad bukanlah bid’ah yang terlarang karena dengan adanya Maulid
Nabi itu masyarakat dapat memperkuat imannya. Saat ini, banyak manusia yang
telah melakukan perbuatan tercela. Perbuatan tercela ini berasal dari
ketidaktaatan manusia kepada Alalh swt. Salah satu cara untuk mempertahankan
akhlak yang baik pada umat Islam adalah merayakan hal-hal yang bernuansa Islami
seperti Maulid Nabi.
Sumber: http://yahyaali.wordpress.com
Perang
Salib, Shalahuddin dan Peringatan Maulid
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS Al Ahzab [33]: 21).
Setiap Rabi’ul Awwal, umat Muslim sibuk menyiapkan varian agenda dalam rangka
memperingati kelahiran Rasulullah SAW yang jatuh pada tangal 12 Rabi’ul Awal.
Namun tak ada yang tahu, apa semangat digagasnya peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW yang pertama kali dilakukan Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang
Mesir.
Ia mengusulkan ide itu pada Sultan Mesir, Muzaffar ibn Baktati, yang terkenal
arif dan bijaksana. Ia sangat menghormati sosok Shalahuddin, yang di kemudian
hari membawa kemenangan bagi tentara Muslim dalam Perang Salib.
Shalahuddin juga merupakan panglima Islam di masa Khalifah Muiz Liddinillah
dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir (berkuasa 365 H/975 M).
Gagasan Shalahuddin sederhana. Pada masa itu masjid Al Aqsha diambil alih dan
diubah menjadi gereja. Kondisi tersebut diperparah oleh keadaan pasukan Islam
yang mengalami penurunan ghirah perjuangan dan renggangnya ukhuwah Islamiyah.
Dari situlah Shalahuddin memiliki gagasan untuk menghidupkan kembali semangat
juang dan persatuan umat dengan cara merefleksikan dan mempertebal kecintaan
kepada Rasulullah. Selanjutnya digelarlah peringatan Maulid Nabi yang disambut
luar biasa oleh seluruh kaum Muslimin kala itu. �Semangat Shalahuddin untuk memperingati Mauild Nabi dalam rangka mengajak
ummat Islam untuk back to Quran dan Sunnah. Akhirnya peperangan dimenangkan
oleh pasukan Islam. Peringatan Maulid ini banyak manfaatnya,� jelas ketua Majelis Ulama Indonesia, KH Syukri
Zakrasyi.
Apa yang digelorakan Shalahuddin membuahkan hasil di kemudian hari. Jerusalem
berhasil direbut. Di bawah kepemimpinannya, Perang Salib diakhiri dengan
sedikit jumlah korban. Tak seperti saat tentara Kristen menduduki Jerusalem dan
membunuh semua Muslim yang tersisa, pasukan Shalahuddin mengawal umat Kristen
dan memastikan jiwa mereka selamat saat keluar dari Jerusalem. Begitulah akhlak
Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tidak mentang-mentang menang dan
berkuasa, maka bebas melakukan penindasan.
Muslim Indonesia pantas meniru sejarah Rasulullah dan sejarah lahirnya
peringatan maulid Nabi. Sedikit banyak, situasi Muslim saat ini hampir sama
dengan situasi umat Islam masa Shalahuddin Al-Ayubi. Selain terpuruk secara
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan akidah, juga tidak ada kebanggaan sebagai
Muslim.
Berkaca lagi pada pribadi Nabi SAW, itulah semangat yang diusung Shalahuddin.
Itu pula agaknya yang harus kita lakukan saat ini. ”Dalam kondisi bangsa yang
penuh ujian seperti sekarang ini, sangat pantas jika kita melihat figur
Rasulullah SAW terutama dalam membangun masyarakatnya yang berlandaskan
nilai-nilai Ilahi. Beliau itu memiliki akhlak yang sangat terpuji: jujur,
tanggungjawab dan kebersamaan,” ujar Prof Dr KH Didin Hafidhuddin Msc, direktur
Pasca Sarjana Univeristas Ibnu Khaldun Bogor. (dam/RioL)
Perang Salib
Perang keagamaan antara umat Kristen Eropa dan umat Islam Asia selama hampir
dua abad (1096-1291) dikenal dengan nama Perang Salib. Perang itu terjadi
sebagai reaksi umat Kristen terhadap umat Islam.
Sejak tahun 632, sejumlah kota penting dan tempat suci umat Kristen dikuasai
oleh umat Islam. Akibatnya, umat Kristen merasa terganggu ketika hendak
berziarah ke kota suci Yerusalem. Umat Kristen tentu saja ingin merebut kembali
kota itu. Perang itu disebut Perang Salib karena pasukan Kristen menggunakan
tanda salib sebagai simbol pemersatu dan untuk menunjukkan bahwa peperangan
yang mereka lakukan adalah perang suci.
Faktor utama penyebab terjadinya Perang Salib adalah agama, politik dan sosial
ekonomi. Faktor agama, sejak Dinasti Seljuk merebut Baitulmakdis dari tangan
Dinasti Fatimiah pada tahun 1070, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi
menunaikan ibadah ke sana. Hal ini disebabkan karena para penguasa Seljuk
menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak
melaksanakan ibadah ke Baitulmakdis. Bahkan mereka yang pulang berjiarah sering
mengelu karena mendapatkan perlakuan jelek oleh orang-orang Seljuk yang
fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Seljuk sangat
berbeda dengan para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu
sebelumnya.
Faktor politik, dipicu oleh kekalahan Bizantium –sejak 330 disebut
Konstantinopel (Istambul)– di Manzikart (Malazkirt atau Malasyird, Armenia)
pada tahun 1071 dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasaan Seljuk terlah
mendorong Kaisai Alexius I Comnenus (Kaisar Constantinopel) untuk meminta
bantuan kepada Paus Urbanus dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di
daerah-daerah pendudukan Dinasti Seljuk.
Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah, sehingga
orang-orang Kristen Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang
Salib. Ketika itu Dinasti Seljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan,
Dinasti Fatimiah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di
Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya
pertentangan segitiga antara khalifah Fatimiah di Mesir, khalifah Abbasiyah di
Baghdad dan amir Umayyah di Cordoba yang memproklamirkan dirinya sebagai
penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah-daerah kekuasaan
Islam, seperti Dinasti-dinasti kecil di Edessa dan Baitulmakdis.
Sementara faktor sosial ekonomi dipicu oleh pedagang-pedagang besar yang berada
di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Venezia, Genoa dan
Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai
Timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk
itu mereka rela menanggung sebagian dana perang Salib dengan maksud menjadikan
kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa
memperoleh kemenangan.
Sejarawan Philip K Hitti penulis buku The History of The Arabs membagi Perang
Salib ke dalam tiga periode. Periode pertama disebut periode penaklukkan
daerah-daerah kekuasaan Islam. pasukan Salib yang dipimpin oleh Godfrey of
Bouillon mengorganisir strategi perang dengan rapih. Mereke berhasil menduduki
kota suci Palestina (Yerusalem) tanggal 7 Juni 1099. Pasukan Salib ini
melakukan pembantaian besar-besaran selama lebih kurang satu minggu terhadap
umat Islam tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa,
serta tua dan muda. Kemenangan pasukan Salib dalam periode ini telah mengubah
peta dunia Islam dan situasi di kawasan itu.
Periode kedua, disebut periode reksi umat Islam (1144-1192). Jatuhnya daerah
kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum Muslimin
untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi mereka. Di bawah komando Imaduddin
Zangi, gubernur Mosul, kaum Muslimin bergerak maju membendung serangan kaum
Salib. Bahkan mereka berhasil merebut kembali Allepo dan Edessa. Keberhasilan
kaum muslimin meraih berbagai kemenangan, terutama setelah muculnya Salahuddin
Yusuf al-Ayyubi (Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitulmakdis
(Jerusalem) pada 2 Oktober 1187, telah membangkitkan kembali semangat kaum
Salib untuk mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat.
Periode ketiga, berlangsung tahun 1193 hingga 1291 ini lebih dikenal dengan
periode kehancuran di dalam pasukan Salib. Hal ini disebabkan karena periode
ini lebih disemanganti oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan
sesuatu yang bersifat material dari pada motivasi agama